Sabtu, 21 April 2012

doa terakhir untuknya

Alhamdulillah dengan menyebut nama Allah SWT cerpen ini dapat saya selesaikan dengan lancar, dan penuh pengharapan, untuk kita baca bersama, dan jikalau ada yang kurang menarik dan tidak pada tempatnya silahkan teman-teman komentari untuk perbaikan bagi saya kedepannya.
Cerpen ini saya persembahakan untuk “sob”atku yang menginspirasi saya untuk mau menuliskan imajinasi saya dalam membuat kertas. Pernah saya mengimpikan untuk menciptakan sebuah novel, tapi karna keterbatasan media akhirnya saya hanya bisa membuat sebuah cerpen ini, semoga suatu saat nanti impian saya itu terwujud. Amiin. Dan juga saya persembahkan untuk teman-teman semua yang mau meluangkan waktunya untuk membaca cerpen ini.
Cerpen ini saya tulis dan selesai pada tanggal 12 desember kemaren, pada pukul 12 siang, saya tulis di dalam kertas binder sebanyak 12 halaman, serta sebuah bingkisan yang akan saya bawa ke thun 2012. Dengan bismillah cerpen ini saya beri judul ;




DOA TERAKHIR UNTUKNYA
Karya : Putra Bin Aldawiyah.

Mungkinkah …. Kita kan slalu bersama walau terbentang jarak antara kita…. Itulah sebait syair lagu yang kudengar dari radio butut teman sekostku. Mengaluni pagi ini dalam alunan irama radio yang slalu temani hari-hari sebelum fajar menyingsing membuka cakrawala pagi. Sesegera mungkin kumatikan radio itu, karna panggilan Allah tllah datang di pagi ini dari mushala tua tepi muara yang jauhnya kurang lebih dua kilometer dari kostku.Kupercepat langkah agar butir-butir amal dalam sholatku tak terganggu oleh hiruk pikuknya dunia. Awal pagi yang begitu indah, dalam nada-nada indah disetiap bait-baitdoa yang menyertai kehidupanku.
“Fik, aku duluan ya.” Ujar adi teman setikarku , tempat berbagi canda , yang setia menemaniku di ibukota ini, susah senang kami jalani bersama.
“Oh, ya, hati-hati di jalan ya”.Ku jawab dengan tegas.
“Assalamualaikum”.lanjutnya.
“Walaikumsalam”, jawabku, dan berbisik dalam hati, semoga tak ada sedikitpun ilmu yang dilewati oleh adi, dan bernilai amal disisi Allah. Karna orang yang beriman dan berilmu akan ditinggikan beberapa derajat.
Kulihat jam tlah menunjukan pukul tujuh lewat dua puluh lima menit. Hari ini ada kuliah jam delapan lewat lima belas, dengan cepat kutata rapi buku-buku di dalam tas dan memerhatikan sedetail mungkin agar tak ada yang ketinggalan satupun buku-buku yang diperlukan nantinya di kampus. Kalau tidak demikan pasti ada-ada saja yang ketinggalan.Itulah kebiasaanku dari kecil yang memang sering pelupa.Ibu bilang ayahpun juga sepertiku ini waktu masih muda.
Saat ini adalah tahun-tahun akhirku di bangku perkuliahan, semoga setitik asa yang yang ku bangun dulu, menjadi impian yang bisa ku wujudkan suatu saat nanti. Dan setiap puing-puing harapan itu tak lepas dari dukungan orang tuaku, teman-temanku, serta pujaan hatiku nun jauh di kampung sana, menuggu laju hidupku menemui titik terang yang kelak kupersembahkan pada mereka. Semua ini tak lepas dari kuasa dan izin mu ya Allah.
Seusai kuliah, ketika mentari tlah berada diatas kepala, ku lafazkan Alhamdulillah Atas bulir-bulir ilmu yang kuperdapat, dan tak lupa slalu kusempatkan untuk shalat dimushala tua di depan kampus. Tempat berkumpulnya intelektual sains yang terbangun dalam ukhuwah islamiyah.Dan di perkokoh oleh sebuah forum Islam Al-Qalam, mushala itu sudah kami anggap rumah kami bersama di kampus, tempat berbagi ilmu dalam dakwah di jalan kebenaran.
Selepas dari kampus pekerjaan tlah menugguku, ya, beginilah kehidupanku menjadi mahasiswa sambil bekerja.ku langkahkan kaki menuju rumah pak badrul, juragan tempe dekat komplek perumahan di dekat kampus,sudah dari tahun kedua aku bekerja disana. Beliau mempercayakan ku mengantarkan pesanan tempe untuk diantar ke langganan beliau. Biasanya pak badrul tlah mempersiapkan bekal makan untukku sebelum bekerja.Beliau tahu sekalikalau sepulang kuliah aku tak langsung ke kost.
“Fik hari ini pesanan tempe dari pelanggan meningkat, jadi kamu harus bekerja agak lama dari biasanya, bagaimana Fik’.Begitu tutur pak Badrul saat aku datang kesana siang ini.
“oh, tidak apa-apa pak, itu memang sudah tugas saya sebagai pekerja disini, dan saya juga berterima kasih kepada bapak tlah memberikan saya pekerjaan ini, sampai saya bisa membiayai kuliah saya disini pak.” Jawabku dengan nada meyakinkan.
“Ah, kamu bisa aja fik, makanlah dulu Nampaknya kau begitu letih sepulang kuliah tadi”.Gurau pak Badrul padaku yang memang begitu lelah.
“trima kasih pak”. Jawabku dengan nada rendah.
Ku kayuh sepeda milik pak Badrul untuk mengantarkan pesanan tempe ke langganan pak Badrul. Beliau memanglah juragan tempe yang tersohor di era ini. Sampai-sampai pemilik restoran mewah dikota ini memesan tempe pada beliau, akupun juga bangga pada tempe-tempe ini, bersamanyalah aku bisa mengarungi ibukota dalam Suasana yang memanglah tak semaju zaman sekarang. Menikmati sore di batas kota, menyaksikan barisan-barisan gedung bertingkat. Pernah suatu hari pemilik restoran terkenal itu mengajakku makan siang di restoran beliau, itu jua berkat pasukan tempe ini, yang paling berharga bagiku, aku banyak kenal dengan langganan Pak badrul, dari pemilik warung kecil, penjual gorengan, sampai pemilik restoran mewah. Begitulah nostalgia ku bersama tempe-tempe itu.
Matahari tlah menuju peraduan, hiruk pikuk kendaraan di kota menambah semarak kota sore menjelang malamini, kuperhatikan keranjang tempeku tlah selesai diantar ke pemesan. Berpapasan pula dengan datangnya shalat maghrib, suara Adzan pun berlomba lomba menyampaikan gemanya pada setiap insan, dan aku sesegera mungkin mencari masjid terdekat untuk menunaikan ibadah wajib tersebut.
Dalam sujudku aku slalu berharap, apa yang kulakukan hari ini penuh berkah dan mendapat lindungan di sisinya. Keringat yang kucucurkan adalah pertanda embun-embun kebahagian yang Allah janjikan. Dan bisa kuraih nantinya dengan segala usaha usaha ku, karna tuhan tak memberikan apa yang kita inginkan, tapi tuhan memberikan apa yang kita usahakan dengan sungguh sungguh.
Tuhan dengarkanlah aku, kulafazkan namamu di setiap bait bait doaku, inilah jalan hidupku yang slalu ku serahkan kehadiratmu, yang menuntunku pada pilihan-pilihan mutlak tanpa limit.Laju hidup ini memanglah bagaikan fungsi naik dan fungsi turun dalam sebuaqh kurva pada grafik, kurang lebih seperti itu dalam matematika. Sastra pun menganalogikan bagai roda yang berputar, kadang diatas, kadang di bawah, orang ekonomipun berpendapat hidup itu tak ada yang gratis, semua yang kita lakukan harus beli, jadi berusahalah untuk mendapatkan sesuai dengan apa yang kita bayar. Begitulah seterusnya.
***********************

Hari ini aku berencana berangkat kerja lebih awal, karna tak tersangkut oleh urusan-urusan kampus.Sehingga mengharuskan ku menuju penghidupan ku menjadi mahasiswa sambil bekerja.Tapi aku sungguh bahagia menapaki semua ini.Membiayai kuliah tanpa harus menyusahkan orang tua.Dan kalau tidak begini darimana biaya kuliah kuperdapat. Ibu hanyalah seorang buruh tani disawah orang lain. Ibu memang tak punya apapun selain gubuk reot peninggalan kakek dulu. Begitu pula dengan ayah yang sampai saat entah sudah pulang ataulah belum dari mengarungi pulau pulau di lautan sana.
Kadang aku kasihan pada ibu yang di tinggal ayah sendirian, ayah yang tlah pergi ke negeri antah berantah.Mungkinkah beliau ingin seperti popeye yang begitu kerasan tinggal di lautan ataukah memang tak pernah lagi teringat lagi oleh ayah untuk singgah di gubuk reot itu.Pernah suatu hari kulihat ibu menangisi ayah saat melantunkan ayat suci seusai shalat.Lembaran demi lembaran itu lah mengecap manisnya air mata ibu. Air mata kesedihan yang entah kapan kan berakhir.
Kring… kring… kring…, lamunan ku terhenti oleh suara yang ku hafal sekali suara apa itu. Suara yang slalu kunanti nanti di akhir bulan ini.Ya. Itu suara pak pos yang mengantarkan surat dari kampung. Tepatnya surat dari adinda tercinta, Annisa khairani, sosok wanita sholeha yang begitu kukagumi kesohalehaannya, teman kecilku yang saat ini tlah menjadi teman hatiku.
“pagi sekali hari ini pak”. Sapaku menghampiri server pesan tersebut.
“ya, fik. Bapak lupa mengantarkan surat buatmu kemaren, jadi sambil lewat bapak singgah disini sebentar, lihat saja bapak tidak berpakaian dinas kan?, lagi pula hari ini hari libur”. Ungkap pak pos yang seperti terburu-buru.
“hahaha… benar sekali pak”. Sambungku sedikit mengejek.
“Oh ya, bapak pergi dulu, bapak ada urusan, ini surat buatmu, surat buat aa’ taufik janur”. Jawab pak pos balik mengejekku.
“trima kasih banyak ya pak”.
“ya, sama-sama fik. Bapak pergi dulu, Assalamualaikum”.Lanjut pak pos yang hendak mengayuh sepedanya.
“waalaikumsalam, hati-hati pak”. Sambil menatap pak pos yang tlah menjauh dariku.
Rasa senang dihati yang tak terduga. Memang takkan sama seperti saat ini yang serba instan dan mungkin tak mengim surat lagi pada orang-orang yang di cintainya. Tak sabar rasanya ingin mendengar kabar dari lembaran kertas tersebut. Bak menunggu hasil ujian yang akan keluar. Dengan bismillah ku buka surat itu.



9 Januari 2001.
Assalamualaikum
Untuk aa’ Taufik nun jauh di negeri sana.

Kuawali mimpi dengan senyum di pagi hari, slalu hati berharapdalam alunan-alunan melodi kebahagiaan. Kugores tinta di pena ini. Dengan berjuta harapan menyertainyadan menumbuhkan rasa yang tiada terduga.Semoga akhi baik baik saja disana.
Aa’, rindu rasanya nisa melepas batas-batas rindu ini bersama aa, ditepian pantai, menatap indahnya mentari di sore hari. Tak mampu lagi rasa rindu ini diungkap dengan gugusan bintang yang slalu temani nisa dalam sujud malam malam sepi. Tapi nisa yakin aa’ dalam lindungan ilahi robbi disana , oh ya, cepat pulang ya, nisa sudah kangen nih. Wkwkwkwk… Semoga aa begitu pula.
Ada sesuatu hal yang ingin nisa utarakan pada aa, tapi sudahlah pada suatu saat nanti aa juga akan tahu. Seperti pita-pita hitam yang slalu menghantuiku, mengikuti stiap jejak langkahku dan tak mau berhenti disatu titik dan saat kulelah sekalipun, aku sudah letih ingin rasanya berbaring sejenak., menepis yang kuanggap pilu dan sendu. Ada apa sebenarnya yang kurasa ini. Hatiku sangat tak tenang mengingatmu. Apakah ada yang membuat aa resah disana?..
Ingatlah slalu Allah saat aa resah, karna cinta yang abadi Hanyalah Allah semata. Jarak dan waktu ini takkan memisahkan rasa cinta kita, yakinlah Aku slalu merindukanmudisetiap sujud dan garis-garis doa ku.

Wassalam
Salam terhangat
Annisa Khairani.

Ada rasa ragu dan bimbang saat kubaca surat itu, perasaan senang berubah sedemikain rupa, aku ragu memaknai semua ini, , semoga saja takada hal yang membuatnya sedih disana. Slalu kusertai ia dalam doa-doaku. Ya allah jagalah dia , berikan ia kesehatan dan kebahagiaan, dalam meniti mimpi – mimpi indahnya. Ingin rasanya aku kembali ke masa lalu hanya untuk melihat raut wajah bahagianya, serta senyum indahnya.Karna sulit bagiku saat ini untuk bertemu dengannya dalam persimpangan yang berbeda ini. Pengharapan itu hanyalah bagaikan angan yang tak tersampaikan
Tak lama dengan perasaan yang masih raguku berangkat bekerja. masih dalam lobus-lobus otakku kata-kata dalam lembaran surat itu. Tapi semuanya hanya kuserahkan pada sang khaliq. Hanya dzat itu yang tahu arti dan maksud dari semua ini. Kita sebagai hambanya hanya terbatas memaknai itu semua
************************

Akhirnya waktu itu datang juga tanpa harus ku jemput lagi ke tempatnya.Dan tak mau menunda kedatangannya sedikitpun.Dalam detik yang takkan menantiku, akulah yang harus mengikutinya dengan caraku.Dengan usahaku, dengan niat di hatikubahkan dengan setiap sujud di doaku.Ya.Ujian akhir sebagai penentu perjalanan panjangku di bangku perkuliahan.Rasanya detak jantung bagaikan dentuman ombak memecah tepian pantai dengan kerasnya. Siang nanti segala usaha usaha ku , segala keringat keringat yang terbuang, dan segala suka maupun duka akan diuji. Slalu kucap doa untuk kelancaran semua itu.
“ya Allah, jika ini yang terbaik bagiku, perkenankanlah aku memiliki setetes mimpi ini. Dengan izinmu Ya Allah, segalanya kuserahkan padamu., hanyalah engkau maha tahu diatas segalanya, Amin Ya RAbbal Alamin”.
Ada guratan cemas di hati saat menjawab pertanyaan dari tim penguji. Dan slalu kutegaskan pada diri untuk melalui semuanya tanpa ragu ragu bahwa ni adalah nikmat, yang harus kuraih inilah salah satu jalan untuk menuju roma yang slalu di idamkan sewtiap orang. Dan masih banyak cara lain untuk menggapai apa yang di cita-citakan.
Menuggu hasil dari tim penguji hatiku tak henti- hentinya mengucap kalimat-kalimat doa, mengucap nama nama tuhan, apapun hasilnya yang terpenting aku sudah berusaha dengan apa yang ku punya saat ini, aku ingin hidup seperti air yang mengalir dengan tenagnya. Hingga akhirnya air tersebut menuju persinggahannya di lautan sana.
Allhamdulillah dengan sujud syukur dilantai ruang sidang tersebut.Akhirnya ujianku selesai dengan hasilnya sebuah kelulusan.Aku sangat senang dengan semua ini.Tak henti-hentinya bibir ini mengucap rasa syukur. Sebesar besarnya pada sang khaliq. Sesegera mungkin aku berlari menuju mushala al-qalam, untuk lebiuh memperkokoh semua rasa syukur ini. Tapi masih banyak hal lain di balik smua itu. Masih banyak impian-impian baru yang harus ku bangun .ini masih awal, aku harus mendedikasikannya pada sebuah pekerjaan nantinya.
Dan ternyata aku bisa pulang kampung juga, sebelum di wisuda nantinya. Sudah rindu rasanya dengan kampung halaman setyelah dua tahun tak pulang , takkan sama denagan bang toyib, tiga kali puasa, tiga kali lebaran tak pulang.Aku tak ingin mengalahkan rekor itu, sudah semestinya aku mengabarkan semua ini, pada ibu, teman-teman, terutama pada adinda tercintaku.Rindu yang begitu besarnya pada mereka semua.Yang slalu mendukung langkah-langkah ini.
*******************************

“Assalamualaikum”.
“waalaikumsalam, siapa?...”
Saat membukakan pintu, ibu meneteskan airmata, entah itu airmata bahagia, ataukah sebuah rintik-rintik kesedihan yang mendalam.Semoga saja semua itu adalah airmata kebahagiaan.Dengan cepat kupelukn ibu erat-erat dan kucium telapak kaki ibu, begitu bangga nya melihat airmata haru di wajah ibu.
“Ternyata, stinggi tingginya terbang bangau kembalinya kekubangan jua. Ibu kira engkau akan sama dengan ayahmu, yang begitu tangguh sampai-sampai tak ingat pulang, ibu sudah rindu sekali padamu, engkaulah yang paling berharga, yang akan menjaga ibu saat di hari tua ibu ini. Dulu hidup ibu tambah sepi, tambah hampa, malam apalagi, seperti memekik negri, dicekik kesunyian hidup.”.ucap ibu menangis tersedu-sedu.
“sudahlah, ibu tak mau mengingat itu lagi, semua tlah berlalu, walau meniggalkan luka pahit di hidup kita.”
“iya bu, ibu jualah yang menuntunku pulang, untuk ibu , untuk ibulah aku berdiri disini”. Hatiku smakin sedih melihat ibu terdiam menangis, kutatap wajah ibu baik-baik, kupandangi dalam-dalam. Dan memanglah aku akan mengabdikan hidupku untuk ibu.
Ibupun menyapu airmatanya dengan selendang kesayangannya, warnanya sudah pudar sekali, tapi untungnya di kota aku tlah membeli selendang dan kerudung yang baru buat ibu, dari hasil mengantarkan tempe-tempe itu dan menapaki hari-hari dikota bersamanya.
*********************

Sudah kurencanakan matang-matang, kalau hari ini aku ingin menemui sang pujaan hati, dik nisa. Bagaimana kabarnya saat ini, masihkah secerah dulu saat remaja melukis pelangi dalam bayang mimpi. Semuanya berlalu saat waktu tlah berjalan, sudah rindu sekali mendengar tawanya seperti apadatang menuju rumah dik nisa.
Tok..tok… tok… “Assalamualaikum, permisi”.
“iya, sebentar,” terdengar sura seorang ibu menjawab dari dalam
“anak ini siapa ya?”. Dengan lembut ibunya nisa menyapaku.
“saya, taufik bu. Masa ibu lupa”.
“oh……. Taufik, ibu sudah tua, wajar kan ibu lupa,ayo silahkan masuk”.
“tunggu sebentar, silahkan duduk dulu fik, ibu bikin minum dulu untukmu”.
Akupun masih menuggu-nunggu agar nisa keluar dan menemuiku, tak lama ibunya nisa datang dan menawarkan minuman padaku.
“ayo nak silahkan diminum, “.
“iya, bu,………..”. ada suasana hening sejenak.
“kemana saja selama ini, fik”. Tutur ibunya nisa penasaran padaku”.
“kuliah bu..”
“bagaimana kuliahnya, lancar?
“Alhamdulillah lancar buk, oh iya bagaimana kabar ibu selama ini”.
“Alhamdulillah baik juga fik, ibu tahu kamu sudah tak sabar ingin bertemu nisa kan?”.
“iya, bu”, nadaku agak malu-malu.
“nisa sudah banyak bercerita tentang kamu, siapa kamu, hari-harimu bersamanya, iapun sudah sangat rindu padamu,semenjak engkau pergi hari-harinya begitu sepi, apalagi ia juga sudah di tnggal ayahnya kan!, ayo mari ibu antar kebelakang, nisa sedang bermain main indah bersama hari harinya.”
Sesampainya di belakang , sebelumnya aku sudah sangat berharap bisa bertemu, untuk mengungkapkan cerit-cerita di hati dalam sebuah kado ungkapan.
“mana nisanya, bu.” Tanyaku begitu penasaran.
“iya, tunggu sebentar”.
“coba engkau lihat disana, ia sudah tenang meniti hidupnya disana,”. Sambil menatap dengan tajamnya, sebuah gundukan tanah yang masih basah, hatiku terpukul sekali denagan semua itu, ada rasa yang tak menentu di hati, ada rasa bersalah, memaki diri sendiri, begitu sibuknya aku hingga lupa untuk memberinya kebahagian untuknya sejenak, sendi-sendi lututku lemah tak berdaya, aku terjatuh dan tersimpuh di depan gundukan tanah tersebut,”ada duka, diawal kebahagiaan yang ingin kulengkapi bersamanya. Tapa nasi tlah menjadi bubur.Takkan ada artinya lagi sebuah penyesalan, hanya akan menambah luka di hatiku yang paling dalam”.Ibu nisa memegang pundakku dan memberikan sebuah keotak kecil padaku.
“sebenarnya ibu ingin memberi tahumu kejadian seminggu yang lalu ini, waktu itu, tapi ibu tak tahu di mana alamat lengkap mu, nisa tak pernah menceritakan dimana alamatmu dikota, dan sebenarnya nisa sudah lama mengidap penyakit berupa cairan-cairan hitam di dalam tubuhnya dan ia pernah cerita pada ibu kalau penyakit itu biarlah hanya ibu saja yang tahu.Segala daya dan upaya tlah ibu lakukan untuknya hingga sampailah dimasa ini. Dimana tuhan lebih menyanyanginya hingga tuhan memanggilnya.”.dengan tetesan air mata kehilangan ibu nisa ungkapkan itu semua.
Dalam rasa yang bercampur aduk, teringat aku akan surat yang dikirim nisa waktu itu, mungkinkah hal itu yang ia sebut sebagai pita-pita hitam yang slalu menghantuinya, oh, tuhan betapa bodohnya aku, tak sadarkah aku, atas kesalahan kesalahan yang tlah ku perbuat di masa lalu ini. Hasrat hati nak beri sedikit kabar gembira ini, tapi dik nisa lebih memilih, untuk membohongiku lebih memilih menyimpannya sendiri dan tak sedikitpun mau membaginya, betapa suci hatimu dek nisa, tak maukah ia berbagi duka padaku saat itu atukah, aku, aku, aku, yang memang begitu bodohnya. Ampuni aku Ya Allah, atas segala dosa-dosa ini.Airmata duka ini tak mampu ku bending lagi.
“sudahlah nak, tak usahlah kau ratapi semua itu, lebih baik engkau buka saja kotak itu di depan makam ini, karna ia meminta pada ibu, jikalau engkau datang mencarinya saat ia telah tiada, ia menyuruh ibu,untuk membawamu kesini, dan menyuruhmu membuka kotak itu di depan makamnya, ibupun yakin saat ini ia ada disampingmu dan ingin sekali menghapus airmatamu.”
Akup tak mampu lagi berkata sepatah katapun, semua ini berlalu begitu cepatnya, dan akupun perlahan membuka kotak itu, apakah isinya? Masihkah sebuah duka yang ia berikan, kalau memang , semakin dalamlah sayatan-sayatan luka dihati, mena,mbah pilu yang tiada disangka-sangka menghampiriku, kubuka dengan tangan gemetar di atas tanah merah itu, kudapati sebuah Qur’an kecil, sebuah pena dan kertas yang belumlah ternoda, dan sebuah surat untukku.

25 Maret 2001
Assalamualaikum wr.Wb.
Untuk aa tercinta yang slalu di hati nisa
Saat mentari bergolek dengan indahnya, menyinari setiap sudut kamar sepi ini, cahayanya begitu indah saat embun pagi menuai tetesan tetesan kemesraan diatas rumput yang bergoyang dengan syahdunya, inilah hasrat hati yang tak pernah tersampaikan agar aa tak gundah mengenangku saat disana, saat nisa tiada surat inilah sebagai penyambung kebisuan nisa pada aa selama ini, nisa minta maaf sama aa, jikalau masih tuhan berikan waktu, aku ingin bahagia walau dalam sedetik nafasku untukmu, daripada harus meningalkanmu selamanya, aa kan tetap ada di hati ini, rasa cinta ini takkan pernah pudar oleh apapun. Dan yakinlah takkan ada yang kan memisahkan kita, walau dalam ruang yang berbeda karna hakikat cinta adalah hati sejatinya.
Kutitip sebuah Qur,an itu pada aa, agar dapat aa lantunkan sebagai hiburan yang slalu kudengar di surga, juga Qur,an itulah yang slalu yang mengingatkan nisa pada waktu waktu kecil kita mengaji disurau bersama, mengenang itu semua dalam lantunan nada-nada alqur,an, dan untuk saat ini ambilah pena ini, dan cobalah aa tuliskan sebuah doa terakhir untuk nisa, sebagai dongeng pengantar tidurku ini.
Wassalam,
Nisa yang slalu merindukan aa taufik.
Terdiam dan hanya mampu ku terdiam, kuambil qur,an itu dan kulantunkan beberapa surat yang yang kuakhiri dengan surat al-ashr, yang kuingat sekali itulah surat favorit kami berdua masa-masa mengaji disurau, kini tinggalah sebuah kenangan bisu, dan kucoba tulis doa terakhir untuknya di atas kertas yang tiada bernoda itu.
“Ya Allah hanya satu pintaku saat ini padamu, dengan segala kerendahan hati padamu, jikalau ia memanglah jodoh sejatiku pertemukanlah nanti kami di surge walau hanya dalam beberapa saat saja”.
Dalam hati, kurangkai sebuah kata terakhir untuknya.Ia benar jarak bukanlah menjadi batasan untuk mengungkapkan dan mencurahkan rasa kasih dan sayang.
“ Dek Nisa, semua ini takkan memisahkan kita, dan semua ini Tlah di rangkai olehnya, selamanya”.

KARYA ; PUTRA BIN ALDABIYAH



SEBUAH CERPEN PERTAMAKU
DOA TERAKHIR UNTUKNYA
KARYA ;
PUTRA BIN ALDAWIYAH.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys